Tuesday, September 15, 2009

ANTRAKS MEREBAK, AWAL PERANG BIOLOGI?

Belum hilang trauma kehilangan ribuan teman dan saudara tanggal 11 September lalu, belakangan warga AS tersulut kekhawatiran menyebarnya kuman antraks. Apakah ini merupakan teror ronde kedua dengan menggunakan senjata biologi? Belum bisa dijawab dengan pasti. Yang jelas, senjata biologi menggunakan kuman antraks sudah diteliti sejak 80 tahun lalu.

reproSepucuk surat menjadi awal timbulnya insiden antraks di AS. Robert Stevens (63), redaktur foto tabloid Sun di Boca Raton, Florida, diberitakan meninggal 5 Oktober lalu, dan 45 orang positif terkena penyakit antraks, termasuk Senator Tom Daschle. Departemen Pertahanan AS dan Centers for Disease Control and Prevention (CDC, Pusat Pengendalian Penyakit) sudah menduga adanya indikasi serangan senjata biologi yang menggunakan kuman antraks.

Kekhawatiran ini memang sudah disinggung-singgung setelah tragedi gedung kembar World Trade Center (WTC) di New York, menyusul pernyataan AS untuk memerangi teroris. ”Analisis laboratorium menunjukkan bahwa strain kuman yang dikirim ke kantor media Amerika di Florida dan New York sama,” kata David Fleming, wakil direktur CDC di Atlanta, akhir Oktober lalu.

Kuman antraks memang merupakan salah satu jasad renik mematikan yang dilirik sebagai ”bubuk mesiu”-nya senjata biologi. Selain kuman antraks, masih ada lagi biang-biang penyakit lain yang direkrut sebagai bahan senjata biologi. Senjata biologi sendiri sebenarnya salah satu dari tiga serangkai senjata pemusnah massal. Dua senjata lainnya adalah senjata nuklir dan kimia. Perbedaan ketiganya dari senjata perang biasa antara lain adalah kedahsyatan dan ”peluru” yang digunakan. Senjata biologi menggunakan mikroorganisme hidup (agen) yakni kuman (bakteri), seperti antraks dan pes, atau virus, misalnya virus cacar dan ebola. Kefatalan yang diakibatkannya bisa melebihi senjata nuklir atau kimia. Untuk ”menembakkan” agen biologi tersebut digunakan berbagai cara, misalnya dengan aerosol. ”Perasaan tak menentu, tentang siapa yang akan terinfeksi, merupakan kunci dalam perang biologi,” kata Stephen Morse dari School of Public Health, Columbia University.



Bukan penyakit baru

Sejak berabad-abad silam, antraks sudah menjadi penyakit mematikan pada binatang dan penyakit serius pada manusia di berbagai belahan dunia. Sedihnya, sifat mematikan itu justru membuat ngiler peneliti senjata untuk mengadopsinya sebagai bahan senjata. Penelitian terhadap antraks sebagai senjata biologi pun dilakukan sudah sejak lebih dari 80 tahun lalu.

Ada dua faktor utama mengapa antraks sangat potensial digunakan sebagai senjata mematikan. Pertama, dalam bentuk spora Bacillus anthracis mampu hidup lama pada berbagai kondisi. Kuman penyebab antraks itu memiliki dua faktor virulensi alias protein kuman yang mampu menyebabkan penyakit, yakni tiga macam toksin (faktor edema, antigen protektif, dan faktor letal) dan kapsul yang melindungi bakteri tersebut. Faktor virulensi ini sangat erat kaitannya dengan timbulnya gejala penyakit.

Kapsul melindungi kuman antraks yang masuk ke dalam tubuh sehingga tidak bisa dimakan oleh sel-sel imun tubuh. Sementara ketiga toksin tidak secara langsung bekerja di dalam tubuh. Ada syarat yang harus dipenuhi agar toksin bisa beraksi. Faktor edema harus bekerja sama dengan antigen protektif untuk menimbulkan edema. Sedangkan antigen protektif bersama faktor letal dapat menimbulkan kematian. Namun, faktor edema dikombinasi dengan faktor letal menjadi tidak aktif. Yang sangat berbahaya kalau ketiga macam faktor ini bekerja sama. Akibatnya, terjadi edema, nekrosis (kematian jaringan), dan akhirnya, kematian.

Kedua, spora antraks bisa masuk ke dalam tubuh manusia lewat tiga pintu, terhirup sewaktu bernapas (inhalasi), termakan (lewat saluran cerna), dan kulit daerah terbuka (misalnya tangan, leher, muka) yang terluka. Bergantung pada masing-masing cara masuknya kuman, gejala dan tingkat kefatalan, kasus dapat bervariasi. Antraks inhalasi, jika dalam 24 - 36 jam tidak diatasi, dapat menimbulkan kesulitan bernapas yang berat dan syok yang berakhir pada kematian penderita.

Menurut artikel pada Journal of American Medical Association (1999), 2.500 - 55.000 spora antraks yang terhirup bisa mengakibatkan kematian. Sedangkan ”Sepuluh ribu spora di dalam tubuh bisa menginfeksi manusia,” papar Prof. Dr. Bibiana W. Lay, M.Sc. dari Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

repro

”Teror” kedua yang membuat sebagian warga AS panik dan senewen.

Di dalam tubuh, karena berada di lingkungan yang mendukung, spora lalu bergerminasi, mengubah dirinya menjadi sel bakteri vegetatif yang mampu berkembang biak sangat cepat (dalam hitungan menit), sehingga dalam 1 - 2 hari jumlahnya bisa mencapai ribuan. Begitu organisme dan toksinnya masuk ke sirkulasi darah, nyawa korban pun terancam.

Yang lebih mengerikan, jumlah korban yang bakal jatuh oleh senjata antraks dijamin banyak. Tahun 1970, seorang ahli di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan secara teoritis, pesawat udara yang melepaskan 50 kg antraks di atas daerah urban dengan populasi lima juta akan mengenai 250.000 orang, 100.000 di antaranya akan meninggal tanpa sempat diobati.

Laporan Anggota Kongres AS bidang Pengkajian Teknologi tahun 1993 memperkirakan bahwa antara 130.000 dan tiga juta kematian bisa diakibatkan oleh pelepasan 100 kg spora antraks di atas Kota Washington, DC, sama parahnya dengan dampak sebuah bom hidrogen. Secara ekonomi, CDC memperkirakan serangan macam itu akan menghabiskan AS $ 26,2 miliar per 100.000 orang yang terpajan kuman tersebut.

Kabar buruknya, kini diperkirakan ada 17 negara yang memiliki program senjata pemusnah massal, termasuk senjata biologi. Entah berapa yang menggunakan kuman antraks. Yang jelas, Irak diketahui memiliki pabrik senjata yang memproduksi kuman antraks dan racun botulin dalam jumlah besar.

Sementara virus cacar air dalam jumlah kecil disimpan di laboratorium CDC di Atlanta, Georgia (AS), dan di Vector, Koltsovo (Rusia). Lebih seram lagi, konon, Rusia bahkan telah melakukan rekayasa genetika untuk membuat kuman antraks dan virus cacar air yang lebih mematikan dan tahan terhadap antibiotik dan vaksin.

Terlepas dari jumlah dan siapa yang mampu melakukan produksi besar-besaran kuman antraks, ”Ternyata untuk membiakkan kuman itu susah-susah gampang,” kata Bibiana. ”Menumbuhkannya sih mudah, cukup dengan media kaldu biasa, kuman itu akan tumbuh. Yang sulit, membersihkan lab sesudahnya. Perlu petugas yang benar-benar tahu cara dekontaminasi. Alat-alat yang digunakan harus masuk otoklaf (teknik pemanasan hingga 120oC pada tekanan tinggi),” tambah pakar bakteriologi yang sudah 30 tahun memberikan praktikum antraks kepada calon dokter hewan di FKH-IPB itu.

No comments:

Post a Comment