Wednesday, September 16, 2009

Harapan Seorang Ibu

Mataku sudah ingin dipejamkan. Tadi waktu tiduran di atas kasur jualannya Ambon di trotoar Jl. Darmo sambil mengobrol dengannya tiba-tiba aku jadi ngantuk. Mungkin karena udara malam yang sejuk membuat tubuh yang capek jadi mudah sekali mengantuk. Maka meski digoda oleh Ambon sebab aku hanya sebentar duduk-duduk di tepi jalan, aku tidak peduli. Aku ingin tidur. Jam di mobil sudah menunjukan pk 11.43. Aku memacu mobil melalui jalan-jalan Surabaya yang mulai sepi. Ketika sudah dekat gereja kulihat ada warung kecil jualan nasi bebek. Tiba-tiba perutku jadi lapar. Aku ingat belum makan sejak siang tadi. Maka aku parkir mobil dan makan nasi bebek, sebab rasa lapar mengalahkan rasa kantuk.

Kulihat beberapa tukan becak sedang asyik menikmati nasi bebek di piringnya masing-masing. Aku mengambil duduk di sebelah mereka. Sambil menanti pesanan aku memandang ke jalan. Kulihat ada seorang ibu dengan menggendong anaknya yang masih kecil duduk tidak jauh dari tempatku duduk. Dia pasti salah satu dari pengemis yang semakin banyak saja di Surabaya. Kadang aku sangat jengkel dengan pengemis-pengemis yang membawa bayi mereka dalam menjalankan profesinya. Kok tega sekali mereka membiarkan anak-anaknya tersengat sinar matahari di siang bolong atau sekarang membiarkan anaknya kedinginan di tengah malam. Tapi anehnya banyak bayi yang digendong itu tidur dengan pulas. Mereka tidak terganggu oleh panasnya matahari atau dinginnya malam. Konon bayi-bayi itu sudah diberi obat tidur sehingga bisa tidur terus. Konon bayi-bayi itu tidak akan bisa tumbuh menjadi anak, sebab mati dalam usia yang sangat muda akibat over dosis obat tidur.

Ibu itu duduk diam saja. Bayi yang dalam gendongannya tampaknya sudah tertidur. Pesananku sudah datang. Aku menikmati nasi bebek tanpa peduli lagi dengan ibu itu. Tapi pikiranku terusik, jangan-jangan aku melakukan kesalahan seperti pengalaman di atas kapal fery menuju Bali. Jangan-jangan aku menjadi orang kaya yang tidak peduli pada Lazarus yang miskin. Dalam perumpamaan yang diberikan oleh Yesus itu digambarkan bahwa Lazarus tidak pernah meminta pada orang kaya. Dia hanya diam dan memunguti remah-remah roti yang jatuh dari meja orang kaya. Orang kaya itu juga tidak mengusirnya. Mereka pribadi-pribadi yang diam. Tidak saling mengusik. Namun Allah menghukum orang kaya sebab dia tidak peduli pada Lazarus. Dia dihukum bukan karena dia kaya melainkan karena dia tidak peduli pada orang yang miskin. Dia tidak mempunyai kepekaan akan kediaman Lazarus.

Hatiku gundah dalam perdebatan. Aku ingin menetramkan hati dengan mencari alasan bahwa ibu itu memang pengemis yang jahat, sebab menggunakan anaknya untuk mencari uang. Ibu itu telah menjual anaknya hanya untuk beberapa ratus rupiah perhari. Ibu itu bahkan tega membunuh anaknya secara perlahan dengan memberikan obat tidur setiap harinya. Aku mencoba mencari alasan untuk menghindari tanggung jawabku sebagai orang Katolik. Aku ingin menikmati nasi bebek lalu pulang dan tidur.

Tapi pengalaman di fery terus terbayang. Selesai makan, aku menghampiri ibu itu. Kusapa dia. Aku mencoba membuka percakapan dengannya. Dia melihatku sejenak lalu mengalihkan pandangannya ke gelora 10 November yang megah. Kuajukan beberapa pertanyaan yang dijawabnya secara singkat-singkat. Kupikir mungkin dia sudah ngantuk dan tidak ingin diganggu. Kunyalakan sebatang rokok sambil berdiri hendak meninggalkannya. Tiba-tiba ibu itu mengatakan apakah aku mau membelikan dia makanan? Dia lapar dan tidak punya uang. Kutatap dia dalam-dalam. Aku berusaha mencari tanda dalam wajahnya. Apakah dia tidak bohong? Suasana yang temaram mampu menyembunyikan ekspresi wajahnya.

Aku memesan nasi bebek lagi dan dibungkus. Kupesan juga es teh yang dimasukan kantong plastik. Kuberikan semuanya pada ibu itu. Dia lalu menikmati makannya. Aku duduk kembali di sampingnya. Sambil makan ibu ini bercerita bahwa dia berasal dari suatu daerah di daerah selatan Jawa Timur. Dia datang ke Surabaya untuk mencari suaminya. Menurut kabar yang diterimanya dari beberapa orang bahwa suaminya bekerja sebagai tukang becak dan mangkalnya di Tambaksari, daerah di sekitar gelora 10 November. Tapi sudah dicari sejak siang tadi ternyata suaminya tidak ada. Dia sudah bertanya kepada beberapa tukang becak yang mangkal di depan gelora apakah mereka mengenal suaminya? Ternyata tidak ada satupun yang mengenal suaminya.

Menurut ibu ini sudah 7 bulan lebih suaminya tidak pulang. Dia belum pernah sekalipun melihat anaknya ini. Dia pergi meninggalkannya sejak dia hamil tua. Kemiskinan yang melanda mereka, membuat suaminya memutuskan untuk pergi ke Surabaya. Dia berharap di Surabaya akan ada pekerjaan yang bisa menghasilkan uang. Tapi ternyata sampai kini suaminya tidak pernah pulang dan uang yang dinantikan.

No comments:

Post a Comment