Wednesday, September 16, 2009

Berapa Banyak Cinta Yang Tersisa ?

Aku tak pernah ragu ragu dalam hidupku. Dari awalpun aku sudah tahu, aku akan menikah, ambil kuliah jurusan periklanan di Universitas Minnesota, lalu akan membuka kantor periklananku sendiri. Baru saja selesai kuliah, aku langsung mengecap sukses. Sebentar saja perusahaanku mampu menghasilkan berjuta-juta. Aku membeli sebuah pesawat terbang, sebuah kapal, sebuah Mercedes, juga sebuah mobil limosin besar. Para pelangganku selalu kujamu dengan pesta meriah yang serba wah..wah..wah.., makan minum berlimpah ditambah acara-acara lainnya. Uang yang mengalir kerekening bank aku seakan tak ada hentinya. Segala berjalan begitu lancar sesuai rencana dan aku menikahi Karla.

Kemudian datang bencana menimpa kami - kemajuan bidang komputer dengan "cetak desktop" mulai dikenal dan menjadi terkenal. Aku melihat dan mengikuti betapa pelanggan-pelangganku mulai pergi meninggalkanku, mereka membuka situs-situs in-house sendiri. Aku mulai kehilangan sumber penghasilan, pada hari yang sial itu aku terpaksa menjual Mercedesku, juga Fiatku. Amat sakit rasanya, apalagi empat bulan kemudian aku juga masih harus melihat betapa seseorang membawa pergi juga mobil limosinku. Tak lama kemudian aku juga terpaksa harus mencari pembeli bagi pesawat terbang dan, akhir- nya, kapalku juga. Dulu, selagi uang begitu mengalir seperti air, Karla dan aku sama-sama mengumpulkan begitu banyak barang-barang, ada yang perlu, banyak juga yang tidak berfaedah. Sekarang istriku menyarankan agar kami mulai saja berjualan barang bekas diakhir pekan: Garage Sale, garasi daripada kosong kan bisa dimanfaatkan, laipula kami butuh uang. " Kita kan juga tidak telalu membutuhkan barang-barang itu," ia berkata menghibur.......Dalam waktu sekejap aku seakan telanjang, segala sesuatu hilang - kecuali Karla. Aku mulai membayangkan sebentar lagi ia juga akan ikut menghilang sebab selama ini fokus perhatianku selalu pada uang, tidak pernah pada dirinya. Lalu..., saat kupikir keadaan sudah tidak mungkin jadi lebih parah lagi, ehhh, ternyata malah makin jelek dan buruk! Selama 6 bulan berikutnya, sebagian besar staff karyawanku berhenti, minggat membawa serta langganan-langgananku. Istri dan putriku terpaksa dilarikan ke- rumah sakit, bagian gawat darurat, gara-gara tubrukan yang hampir fatal. Ayahku sendiri meninggal kena kanker. Seakan menutup semua rentetan mala petaka itu, wuiih..., rumah kami ditimpa pula kena petir.....

Aku benar-benar merasa seperti seorang Ayub zaman-modern. Betul-betul tak mungkin bisa kulupakan hari saat aku pulang dari kantor, merasa dunia sudah kiamat, segalanya sudah berhenti dan habis buat aku.... Aku duduk termenung dimeja dapur, mukaku tertunduk, jatuh dalam pegangan tanganku sendiri. Apa yang tersisa ya cuma tinggal melihat sebentar lagi Karla juga akan pergi........... Tapi, tidak seperti dugaanku dan berbeda dengan istri Ayub yang berteriak keras, " Sumpahilah Allah dan matilah kau!", Karla malah membesarkan hatiku. Lembut katanya, "Sayang, aku tetap percaya padamu." "Lagipula, mungkin ini barangkali hal terbaik yang kita alami." Aku balik menatapnya, heran dan bingung, apa dia sudah sinting.... Tapi itu ternyata benar-benar titik balik kehidupan kita. Tahun-tahun yang kemudian menyusul memang bukti kebenarannya.

Hari ini, Karla dan aku melihat kembali segala kemalangan dan kesengsaraan kami sebagai pengalaman pelajaran yang amat bernilai. Segala kerugian dan kehilangan itu mempererat hubungan kami berdua dan juga makin mendekatkan kami pada Tuhan. Aku buang segala impi dan fantasiku sendiri bisa menguasai dunia. Dan dengan bantuan dari Karla yang telaten, aku mulai belajar lagi untuk menikmati hal-hal yang begitu sederhana dalam hidup - menghirup dan merasakan bau pasta gigi nafas anak-anakku disaat mau tidur malam, melihat dan bisa menikmati sekuntum saja bunga yang mekar dikebun kami, dan.....sentuhan tangan istriku yang penuh cinta.........

Saat menikah selalu diulang kata-kata, "... tetap mencintai, didalam keadaan makin kaya maupun makin miskin." Aku selalu berpikir istilah "makin miskin" begitu menakutkan, sangat mengerikan sekali sebagai hal yang dijanji-setiakan seorang pasangan hidup. Tapi sekarang ini aku baru mengenal kebenarannya. "Lebih sedikit" sering bisa menjadi "Lebih banyak". Dan nilai-nilai sejati seorang suami sesungguhnya bisa diukur - justru saat dan cara terbaiknya - ialah ketika segala sesuatu terambil darinya dan melihat berapa banyak cinta yang masih tersisa....
(Steve Gottry)

No comments:

Post a Comment