Tuesday, September 15, 2009

Taplak Meja

(anonim )

Menara21.com Seorang Pendeta beserta isterinya baru saja diutus oleh Tuhan untuk membuka kembali sebuah jemaat di daerah Brooklyn. Mereka baru tiba pada permulaan Oktober dan mereka merasa senang sekali akan tugas mereka yang baru itu. Namun, ketika untuk pertama kali mereka melihat gereja mereka, keadaan gedung itu sangat menyedihkan dan mereka sadar, bahwa ada banyak hal yang harus mereka benahi. Mereka berjanji dan berusaha sekerasnya, agar perbaikan gereja mereka rampung sebelum mereka mengadakan kebaktian Natal yang pertama. Mereka bekerja keras, memperbaiki bangku-bangku gereja, memplester ulang bagian dinding-dindingnya yang rusak, mengecat lagi, dan sebagainya.

Pada tanggal 18 Desember, kelihatannya mereka akan dapat menyelesaikan tugas mereka dengan memuaskan. Pada tanggal 19 Desember malam, hujan angin yang cukup parah melanda daerah itu selama dua hari berturut-turut. Pada tanggal 21 Desember, Pak Pendeta pergi ke gerejanya. Hatinya menjadi kecil, ketika ia melihat bahwa atap gerejanya bocor, sehingga suatu bagian yang cukup besar dari plesteran dindingnya mengelupas dan jatuh ke bawah. Bagian plesteran yang mengelupas itu seluas kurang lebih 1.80 x 2.40 meter, dan terletak di bagian belakang mimbar mulai setinggi 2 meter dari lantai.
Dalam perjalanan pulang dari gereja, ia melihat di sebuah toko sedang menyelenggarakan penjualan obral untuk keperluan sosial. Ia masuk ke dalam untuk melihat-lihat. Salah satu barang dagangan yang dipamerkan adalah sebuah taplak meja yang amat indah, sebuah pekerjaan tangan, berwarna creme dan di tengah-tengah terdapat sebuah gambar salib yang dibordir dengan sangat halus dan indahnya. Kebetulan ukurannya cocok untuk menutupi bagian dinding yang plesterannya mengelupas itu. Ia mengambil keputusan untuk membelinya dan kemudian ia kembali ke gerejanya.

Pada saat itu hujan salju mulai turun. Seorang ibu yang sudah setengah umur berlari-lari dari arah yang berlawanan untuk mencoba menumpang bis kota, namun gagal. Bapak Pendeta menawarkan ibu itu untuk menunggu bis yang berikutnya di dalam gereja agar ia tidak kedinginan. Ia duduk di dalam bangku dan tidak memperhatikan, apa yang sedang dilakukan oleh Pak Pendeta yang sedang mengambil sebuah tangga, paku dan lain-lain untuk menggantungkan taplak meja itu sebagai hiasan dinding. Pak Pendeta hampir tak dapat mempercayai, betapa indahnya taplak meja itu setelah digantung untuk menutupi bagian dinding yang bermasalah itu.

Kemudian, si Pendeta melihat si ibu berjalan dengan pelan dari tengah-tengah gereja mendekati hiasan dinding yang baru digantung itu. Wajahnya berubah menjadi pucat.
"Pak Pendeta," tanya ibu itu, "dari manakah Bapak memperoleh taplak meja itu ?".
Pak pendeta mejelaskannya. Ibu itu meminta, agar ia memeriksa di bagian sudut kanan bawah dan melihat apakah ada sebuah inisial EBG tertulis disitu. Ternyata inisial itu memang ada. Inisial itu milik ibu itu, dan ternyata ia telah membuat taplak meja itu 35 tahun yang lalu di Austria. Ibu itu hampir tak dapat percaya, bagaimana bapak pendeta mendapatkan taplak meja tsb.
Ia menjelaskan bahwa sebelum perang, dia dan suaminya merupakan orang-orang yang berkecukupan dan hidup di Austria. Ketika kaum Nazi datang, mereka dipaksa untuk meninggalkan rumah dan kota mereka, Menurut rencana, suaminya akan menyusul minggu depannya. Ibu itu ditangkap lalu dimasukkan ke dalam penjara dan selanjutnya ia tidak pernah bertemulagi dengan suaminya yang tidak dapat kembali lagi ke rumahnya. Bapak Pendeta ingin memberikan taplak meja itu kepada ibu itu; namun ia meminta dengan sangat agar pendeta dapat menggunakan taplak itu untuk gereja. Akhirnya, pendetanya memaksa agar ia dapat mengantar pulang ibu itu, karena itulah yang setidak-tidaknya ia dapat lakukan untuk ibu itu. Ia tinggal di bagian lagi dari Staten Island dan hari itukebetulan berada di Brooklyin untuk melakukan pekerjaannya sebagai pembersih di suatu rumah tangga.

Kebaktian Natal akhirnya berlangsung dengan indah sekali. Gereja hampir penuh sesak. Musik dan suasananya sungguh mengesankan. Pada akhir kebaktian, pendeta dan isterinya menyalami setiap pengunjung gereja dan banyak di antara mereka berjanji untuk datang berkunjung kembali.

Salah seorang bapak tua, yang dikenal oleh Bapak pendeta sebagi salah seorang penghuni di daerah itu, tetap tinggal duduk di bangku dengan matanya menatap sesuatu terus-menerus. Pak pendeta bertanya-tanya di dalam hatinya, mengapa orang tua itu tidak keluar. Orang itu kemudian bertanya kepada Pak Pendeta dari mana ia memperoleh taplak meja itu yang menurutnya persis sama dengan taplak yang telah dibuat oleh isterinya 35 tahun yang lalu, ketika mereka masih tinggal di Austria sebelum perang dan bagaimana mungkin bahwa ada dua taplak meja yang kembar ?
Ia selanjutnya bercerita kepada Pak Pendeta, bagaimana ketika Nazi datang, ia memaksa isterinya untuk lari menyelamatkan diri. Menurut rencana, ia akan menyusulnya namun ia ditangkap dan dimasukkan penjara. Selanjutnya ia tidak pernah bertemu dengan isterinya lagi selama 35 tahun hingga kini. Pak Pendeta bertanya, apakah ia diijinkan untuk mengajaknya naik mobil berkeliling kota. Mereka menuju ke State Island ke rumah, di mana Pak Pendeta beberapa hari yang lalu mengantar seorang ibu pulang. Ia menolong orang tua itu menaiki tangga setinggi tiga lantai ke apartemen ibu itu, mengetuk pintunya, dan ia melihat terjadinya sebuah reuni yang terbesar, yang belum pernah dibayangkannya.

No comments:

Post a Comment